Rhin Inspired by Rhin

Blog

Sebuah Monolog

0 comments
Aku : “Aku mau mati…..hidup ini terlalu berat”

Aku : ”Pengecut!! Mati itu mudah, melawan hidup itu yang berat. Enak sekali kau lari dari tugasmu.”

Aku : ”Tahu apa kamu? Tahu apa tentang tugas? Aku yang menghadapi hidup, kamu? Apa yang kamu lakukan hah? Berceramah, mengkritik, menasihati.”

Aku : ”Kamu sendiri yang memilih tugas ini, bukan aku. Belum sebulan, dan kamu sudah akan mengingkari arti hidupmu?”

Aku : ”Aku tidak mengingkarinya. Aku hanya menginginkan beberapa penyesuaian.”

Aku : ”Penyesuaian atau kesenangan? Kamu tidak bisa membohongiku. Aku ini kamu”

Aku : ”Terserah kamu menyebutnya. Tapi hidup tidak bisa terus begini. Aku tidak mengingkari untuk apa aku datang, tapi aku juga tidak ingin mengingkari yang datang kepadaku”

Aku : ”Ya, terima saja semua yang datang kepadamu. Terima saja semua. Setelah itu, mintalah dijemput karena kamu pasti kehilangan jalanmu.”

Aku : ”Kenapa jadi sinis begitu?! Tidak bolehkah aku menuntut sesuatu yang baik untuk diriku sendiri? Apakah kamu malaikat, hah? Sadarlah, kita ini manusia!!”

Aku : ”Ya, manusia yang pernah tahu arti hidupnya, tapi kemudian lupa dan harus dituntun pulang”

Aku : ”Sudah kubilang, aku tidak lupa. Aku berani berikan jaminan!”

Aku : ”Aku tidak percaya dengan jaminan”

Aku : ”Lalu apa yang kamu percaya?”

Aku : ”Cinta, hanya cinta. Cinta yang membawa kamu datang, dan akan menuntunmu pulang”

Aku : ”Sekarang pun masih ada cinta dalam hidupku”

Aku : ”Cinta yang telah terbagi. Sebagian untuk dirinya, sebagian untuk dirimu. Dan perlahan-lahan, bagian dirinya akan semakin kecil sementara bagian dirimu semakin besar..”

………………………………………………………………………………………………………………………………

Aku : ”Apa yang kamu mau dari aku?”

Aku : ”Berkorbanlah”

Aku : ”Seberapa banyak?”

Aku : ”Sebanyak yang diperlukan”

Aku : ”Seberapa lama?”

Aku : ”Selama yang dibutuhkan”

Aku : ”Dalam bentuk apa?”

Aku : ”Dalam bentuk apapun yang diperlukan”

Aku : ”Jangan begitu…setidaknya beri aku gambaran, sedikit kepastian”

Aku : ”Obsesimu akan kepastian menghalangimu untuk berkorban. Kepastianmu adalah caramu melindungi dirimu sendiri”

Aku : ”Bukankah itu wajar?”

Aku : ”Ya untuk yang lain, tidak untukmu”

Aku : ”Kenapa tidak untukku?”

Aku : ”Karena dia yang untuknya kamu harus berkorban pun tidak mencari atau mendapatkan kepastian itu. Ingat seluruh ceritanya, bukan hanya bagianmu saja. Jalani peranmu, dan pahami peran yang lain”

Aku : ”Kamu membuatku sedih”

Aku : ”Menangislah”

Aku : ”Tapi bukankah aku tidak bersalah? Aku sudah melakukan tugasku. Aku hanya tidak melakukan yang sebenarnya dapat kulakukan”

Aku : ”Kamu meninggalkan dia yang mencintai kamu”

Aku : ”Dan sekarang aku datang lagi…”

Aku : ”Meskipun kamu tahu bahwa tidak akan mudah”

Aku : ”Tanpa paksaan?”

Aku : ”Tidak ada paksaan. Tidak ada yang menuntutmu bertanggung-jawab. Tidak juga dia yang kamu tinggalkan”

Aku : ”Tapi kesepian ini…”

Aku : ”Adalah temanmu”

Aku : ”Apa yang aku dapat dari sepi?”

Aku : ”Pengenalan dirimu, bila kamu memintanya”

Aku : ”Ya, aku memintanya”

Aku : ”Maka kamu akan menerima”

Aku : ”Kapan?”

Aku : ”Ketika kamu siap”

Aku : ”Kapan aku siap?”

Aku : ”Kapanpun kamu mengatakan kamu siap”

Aku : ”Aku bisa saja berbohong”

Aku : ”Maka kamu membohongi dirimu sendiri”

………………………………………………………………………………………………………………………………

Aku : ”Siapa kamu?”

Aku : ”Kamu”

Aku : ”Kapan kamu datang?”

Aku : ”Ketika hidup mengacaukan tujuanmu”

Aku : ”Kenapa kamu datang?”

Aku : ”Karena yang datang harus diingatkan tujuan kedatangannya”
Read more

Serenity

0 comments
Read more